Senin, 27 Agustus 2012

ALARM MERAH DARI SAMPANG UNTUK TOLERANSI KEAGAMAAN DI INDONESIA



Untuk kesekian kalinya, komentar klasik di lontarkan oleh pihak kepolisian atas tragedi keagamaan di Sampang dan untuk beribu-ribu kalinya pula tragedi ini membuka mata kita betapa lemahnya sistem intelijensi di kepolisian.  Tidak ada tindakan pencegahan yang dilakukan oleh pihak kepolisian sehingga akibatnya fatal, 2 orang tewas dan puluhan lainnya luka-luka akibat tragedi sampang part II ini.  Melihat dari sejarahnya, sebenarnya konflik yang terjadi di Sampang adalah konflik lama, namun muncul kembali seiring dengan adanya tradisi mudik atau “toron gunung” yang masih sangat kental dalam masyarakat Indonesia. Ya, bukan rahasia umum lagi ketika menjelang hari raya Idul Fitri banyak masyarakat melaksanakan tradisi mudik ke kampung halaman. Hal itulah yang juga dilakukan oleh sebagian besar masyarakat madura yang ada di perantauan, menjalin silaturahmi dengan sanak keluarga yang ada di kampung menjadi kebutuhan utama pada saat idul Fitri. 

Kepolisian Resort Sampang dikutip dari Madura Chanel,  Sudah mendeteksi  konflik ini. Namun pencegahan yang dilakukan kurang sehingga biarpun sudah diketahui tetap saja hangus dan melayang tuch nyawa. Sekali lagi polisi hanya menjadi penonton atas pembantaian nyawa manusia, pembantaian yang sebenarnya bisa dicegah.  Melihat dari komentar dari Kapolres Sampang, konflik ini sebenernya bisa di minalisir dampaknya tidak harus mengorbankan 2 nyawa manusia. Namun sekali lagi, ini negara Indonesia bung. Negara dimana tidak mengenal pencegahan, yang ada hanyalah penanganan setelah jkonflik tersebut terjadi.

Konflik agama yang terjadi di Sampang, secara langsung telah mengancam toleransi keagamaan di Indonesia khususnya Madura. Madura yang dulu terkenal mempunyai persaudaraan yang tinggi antar orang madura. Kini saling bacok dan saling mengklaim kebenaran, kebenaran yang jauh dari rasa keadilan. Pemerintah mempunyai tanggung jawab besar terhadap konflik yang terjadi di Sampang, namun alangkah baiknya hal tersebut juga tidak dibebankan kepada pemerintah. Kyai atau ulama juga harus ikut ambil bagian dalam penyelesaian konflik tidak hanya bisanya mengeluarkan fatwa haram terhadap aliran syiah. Namun disertai dengan pembinaan bagi penganutnya, sebab peganut aliran syiah juga warga negara Indonesia yang mempunyai hak yang sama. Hak untuk kemerdekaan dalam beragama, .... !!!

 
"Alarm merah kembali berbunyi, membuktikan bahwa pemerintah telah gagal menjamin kemerdekaan rakyatnya. Kekerasan dimanapun dan dalam bentuk apapun tidak dibenarkan, islam tidak pernah mengajarkan umatnya untuk menggunakan kekerasan terhadap suatu aliran apapun. Islam menjunjung toleransi beragama, islam adalah ajaran damai."

Kamis, 23 Agustus 2012

Sejarah Panjang Jembatan Suramadu


           Pembangunan jembatan Surabaya - Madura (Suramadu) sebenarnya telah lama digagas, bahkan sejak zaman pemerintahan Presiden Soekarno. Rencana semula, kaki jembatan diletakkan di sekitar Gunung Warung Kecamatan Kebomas, Kabupaten Gresik dan untuk wilayah Madura dibangun di Desa Tanjungan Kecamatan Kamal. Ketika itu pecah pemberontakan G30S/PKI 1965 sehingga rencana pembangunan jembatan Suramadu tidak direalisasikan.
         Gagasan pembangunan jembatan Suramadu memang tidak dapat dilepaskan dari nama Alm Mohammad Noer. Dia adalah tokoh yang dianggap penggagas awal  jembatan Suramadu. Nama Alm Mohammad Noer memang identik dengan Madura, meskipun beliau bukan seorang kiai. Mohammad Noer adalah putra Madura yang lahir di Sampang, berasal dari keluarga bangsawan Madura dan memiliki hubungan kerabat dekat dengan beberapa kiai terkenal di Madura, seperti KH. Hasib Siradj dan KH. As’ad Syamsul Arifin. Putra Madura yang bernama lengkap Raden Panji Haji Mohammad Noer itu pernah menjabat Bupati Bangkalan (1960-1965), Gubernur Jawa Timur (1971-1976), Duta Besar untuk Perancis (1976-1980), dan pernah pula menjabat Rektor Universitas Bangkalan (1958-1989), di samping pernah menjadi anggota DPA dan MPR (Muthmainnah, 1998:51)
           Mohammad Noer dilukiskan Hotman Siahaan dan Tjahyo Purnomo (1997) sebagai pejabat yang merakyat yang senantiasa terobsesi untuk memakmurkan rakyat Madura. Mohammad Noer cukup paham dengan apa yang diidam-idamkan masyarakat Madura di tengah kehidupan sosial ekonomi yang sulit. Sejak itulah sebelum menjabat Bupati Bangkalan, ia telah menggagas pembangunan jembatan yang menghubungkan Surabaya Madura. Karena terbentur  soal dana, keinginan itu seolah terlupakan, tetapi ia yakin suatu saat keinginan tersebut menjadi kenyataan. Tak kala menjabat Gubernur Jawa Timur, justru ia tidak mau mengemukakan gagasan tersebut, karena khawatir dinilai sectarian dan promodialisme  yang hanya mementingkan golongannya. Justru ketika sudah tidak menjadi gubernur, Mohammad Noer sangat giat mencari dukungan untuk mewujudkan jembatan tersebut. (Muthmainnah, 1998:52)
            Kegigihan Mohammad Noer tidak sia-sia. Khayalannya tentang sebuah jembatan yang menghubungkan Surabaya - Madura segera mendapatkan respons, baik dari kalangan swasta maupun pemerintah. Dari kalangan swasta tampak dari pendirian PT Dhipa Madura Pradana (PT DMP) pada tanggal  3 Mei 1989. PT DMP ini yang kemudian melakukan kegiatan awal seperti survey, penelitian, permohonan izin dan pendekatan ke berbagai kalangan yang potensial untuk mewujudkan jembatan tersebut. Dalam PT DMP, Mohammad Noer duduk sebagai presiden komisaris dan saham mayoritas dipegang Summa Group sebelum kelompok ini collapse (Muthmainnah, 1998:52).
            Pihak pemerintah dalam hal ini Gubernur Jawa Timur dan Menteri Riset dan Teknologi RI/Ketua BPPT (Menristek), segera menanggapinya secara positif rencana pembangunan jembatan Suramadu yang diawali dengan pembangunan PT DMP. Dalam pandangan Gubernur Jaawa Timur, pembangunan jembatan yang menghubungkan Surabaya - Madura bukan hanya sebagai upaya mempercepat pembangunan Madura melalui industrialisasi, melainkan juga menjadi alternatif perluasan industri di Surabaya.
            Berkat tanggapan positif dari pemerintah, gagasan pembangunan jembatan memasuki tahap lebih maju, yaitu diangkat sebagai topik dalam Japan Indonesia Science and Technology Forum (JIF), sebuah forum kerjasama Jepang-Indonesia di bidang sains dan teknologi yang diketuai menristek Prof.Dr.Bj. Habibie. Kesepakatan itu diwujudkan melalui penandatanganan Memorandum of Understanding on Surabaya-Madura Bridge Contruction and Regional Development Project di Tokyo pada tanggal 20 November 1990 antara PT DMP dengan koordinator konsorsium Jepang yang disaksikan Menristek.
             Dengan demikian sangatlah jelas bahwa konsep yang disodorkan oleh pemerintah tidak memisahkan antara pembangunan jembatan dan industrialisasi. Jembatan adalah bagian dari infrastruktur yang dibutuhkan ketika industrialisasi di Madura.  Peyatuan konsep antara jembatan dan industrialisasi itu juga tampak dari konsep dasar yang disusun dan ditetapkan PT DMP, BPPT, dan JIF. Pembangunan jembatan Suramadu dimaksudkan untuk mengatasi hambatan kekurangan lahan di Surabaya dengan memanfaatkan Pulau Madura sebagai lahan industri, pemukiman dan komersial. Secara organisatoris, dengan mengacu Keppres 55/ 1990 dibentuklah tim pengarah, tim pengawas, koordinator proyek dan pelaksana proyek serta memberi petunjuk kepada tim pengawas dan koordinator proyek demi kelancaran pembangunan jembatan Suramadu. Tim itu diketuai Menristek dan Menteri Dalam Negeri sebagai wakil ketua dengan beranggotakan sejumlah menteri dan pejabat setingkat menteri. Tim pengarah bertanggung jawab langsung kepada Presiden RI. Tim pengawas diketuai Gubernur Jawa Timur dengan anggota instansi terkait. Tugas pokoknya adalah melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan jembatan Suramadu (selanjutnya diatur dalam Keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor 39 tahun 1991). Tim pengawas bertanggung jawab kepada tim pengarah. Selanjutnya koordinator proyek melakukan koordinasi antarinstansi pemerintah dan swasta demi kelancaran pelaksanaan pembangunan jembatan Suramadu. Kemudian pelaksana proyek dipercayakan kepada PT DMP melalui Surat Keputusan Menristek / Ketua BPPT Nomor 283/BPPT/VI/1991 (Muthmainnah, 1998:67-68)
            Dilihat dari berbagai segi, rencana pembanguna jembatan Suramadu yang diperkirakan dimulai pada tahun 1995 dapat dikatakan sangat siap. Bahkan PT DMP telah mengantongi sejumlah rekomendasi pencadangan tanah dari Bupati Bangkalan, Walikota Kotamadya Surabaya dan Gubernur Jawa Timur, terutama kebutuhan lahan untuk kepala jembatan, jalan keluar, kawasan industri, pemukiman, dan rekreasi. Bahkan tidak hanya mengantongi rekomendasi dari pemerintah untuk urusan lahan yang dibutuhkan saja, tapi PT DMD bahkan telah memulai proses pembebasan tanah rakyat yang terkena proyek, terutama lahan untuk kepala jembatan dan jalan keluar, sejak tahun 1994. Rencana pembangunan yang satu peket dengan industrialisasi itu mengundang sikap resisten sebagian ulama Madura. Pembangunan jembatan yang diperkirakan menelan sekitar 500 miliar rupiah dan membutuhkan waktu 5 tahun itu akhirnya tertunda.
            Baru satu dasawarsa kemudian rencana untuk membangun jembatan Suramadu muncul kembali, tepatnya melalui proposal Gubernur Jawa Timur Imam Utomo yang disampaikan kepada DPR pada tanggal 16 Februari 2001. Selanjutnya proyek tersebut ditangani oleh pemerintah pusat melalui Departemen Pemukimam dan Prasarana wilayah. Direncanakan pembangunan jembatan akan dimulai pada akhir September 2002. Biaya yang dibutuhkan mencapai 2,3 triliun rupiah. Seperti semula, di Surabaya pangkal jembatan terletak di Desa Tambak Wedi, Kecamatan Kanjeran, sementara di bangkalan pangkal jembatan terletak di Dususn Sekar Bungoh, Desa Sukolilo Barat, Kecamatan Labang.
            Namum rencana pembangunan jembatan Suramadu berbeda dengan rencana semula. Kalau dulu pembangunan jembatan menyatu dengan rencana industrialisasi Madura, maka sekarang industrialisasi adalah bagian lain dari rencana pembangunan jembatan. Fokusnya adalah pembangunan jembatan sepanjang 5,4 km itu. Sekarang ini, menurut Gubernur Jawa Timur Imam Utomo, megaproyek itu sepenuhnya ditangani oleh pemerintah pusat melalui Departemen Pemukiman dan Prasarana wilayah (Kompas, Edisi Jawa Timur, 7 September 2002:A).
            Begitu pula soal pembiayaan. Kalau dulu ketika konsep pembangunan jembatan menyatu dengan rencana industrialisasi Madura, sebagian biaya datang dari Jepang. Bahkan Jepang pula yang memiliki kepentingan menyulap Madura sebagai kawasan industri. Namun pembiayaan rencana pembangunan jembatan Suramadu sekarang tampak belum ada kejelasan. Pada kesempatan tertentu Gubernur Jawa Timur, Imam Utomo menyampaikan bahwa dana yang dibutuhkan akan diperolah dari patungan antara PT Jasa Marga, sekitar 300 miliar rupiah, pemerintah pusat sekitar 1 triliun rupiah, pemerintah daerah Jatim dan kabupaten sekitar 558 miliar rupiah, dan partisipasi swasta sekitar 350 miliar rupiah. (Kompas, Edisi Jawa Timur 7 September 2002 : A). Lalu pada kesempatan lain Gubernur Jawa Timur juga menyampaikan bahwa ada investor Cina yang berpartisipasi. Namun dalam presentasi pembangunan Jembatan Suramadu di Labang, Bangkalan, pada tanggal 9 Oktober 2002, yang juga dihadiri oleh Wakil Presiden Hamzah Haz dan sejumlah pejabat, Hendriyanto, Direktur Jenderal Prasarana Wilayah Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah, menyatakan bahwa dari kebutuhan dana tersebut yang dipastikan bisa didapat yaitu berasal dari APBN sebesar Rp 200 miliar, APBN sebesar 300 miliar, dan PT Jasa Marga sebesar Rp 300Miliar. Kekurangannya mencapai Rp 1,5 triliun. Oleh karena itu Gubernur Imam utomo pada kesempatan lain mengharapkan ada dana rutin dari APBN sebesar Rp 400 miliar per tahun selama empat tahun sehingga kekurangan dana sebesar Rp 1,5 triliun dapat dipenuhi.
            Dibandingkan rencana pembangunan jembatan Suramadu sepuluh tahun lalu rencana sekarang ini tampak kalah siap. Agus Budi Hariyanto, aktivis yayasan Pragalba, merasa tidak yakin bahwa jembatan Suramaduakan terwujud sebagaimana mestinya.
            Keraguan Agus tersebut tampak jelas dilihat dari belum adanya kepastian biaya yang diperkirakan menelan Rp 2,3 triliun. Oleh karena itu muncul kecurigaan bahwa ada tendensi politis di balik rencana pembangunan jembatan Suramadu kali ini. Jembatan Suramadu diangkat kembali sebagai komoditas politik, baik Presiden Megawati untuk menghadapi Pemilu 2004 maupun Gubernur Imam Utomo menghadapi pencalonan Gubernur Jawa Timur periode 2003-2008. Imam utomo yang juga mantan Panglima Kodam V Brawijaya dicalonkan kembali sebagai Gubernur Jawa Timur oleh PDIP yang memiliki 31 suara, PKB 32 suara, di DPRD Jawa Timur. Dengan demikian dengan menggandeng KH. Nurrudin sebagai wakil gubernur dan mengangkat isu jembatan Suramadu peluang untuk merebut dukungan dari kalangan NU di Madura yang berbasis PKB. Hal  ini diharapkan akan memperlancar Megawati (PDIP)  menghadapi pemilu 2004 di Jawa Timur, terutama di Madura yang dikenal basis NU.

Template by : kendhin x-template.blogspot.com