Pembangunan
jembatan Surabaya - Madura (Suramadu)
sebenarnya telah lama digagas, bahkan sejak zaman pemerintahan Presiden
Soekarno. Rencana semula, kaki jembatan diletakkan di sekitar Gunung Warung
Kecamatan Kebomas, Kabupaten Gresik dan untuk wilayah Madura dibangun di Desa
Tanjungan Kecamatan Kamal. Ketika itu pecah pemberontakan G30S/PKI 1965
sehingga rencana pembangunan jembatan Suramadu tidak direalisasikan.
Gagasan
pembangunan jembatan Suramadu memang tidak dapat dilepaskan dari nama Alm Mohammad Noer. Dia
adalah tokoh yang dianggap penggagas awal jembatan Suramadu. Nama Alm Mohammad Noer memang
identik dengan Madura, meskipun beliau bukan seorang kiai. Mohammad Noer adalah
putra Madura yang lahir di Sampang, berasal dari keluarga bangsawan Madura dan
memiliki hubungan kerabat dekat dengan beberapa kiai terkenal di Madura,
seperti KH. Hasib Siradj dan KH. As’ad Syamsul Arifin. Putra Madura yang
bernama lengkap Raden Panji Haji Mohammad Noer itu pernah menjabat Bupati
Bangkalan (1960-1965), Gubernur Jawa Timur (1971-1976), Duta Besar untuk
Perancis (1976-1980), dan pernah pula menjabat Rektor Universitas Bangkalan
(1958-1989), di samping pernah menjadi anggota DPA dan MPR (Muthmainnah,
1998:51)
Mohammad Noer dilukiskan Hotman
Siahaan dan Tjahyo Purnomo (1997) sebagai pejabat yang merakyat yang senantiasa
terobsesi untuk memakmurkan rakyat Madura. Mohammad Noer cukup paham dengan apa
yang diidam-idamkan masyarakat Madura di tengah kehidupan sosial ekonomi yang
sulit. Sejak itulah sebelum menjabat Bupati Bangkalan, ia telah menggagas
pembangunan jembatan yang menghubungkan Surabaya – Madura. Karena terbentur soal dana, keinginan itu seolah terlupakan,
tetapi ia yakin suatu saat keinginan tersebut menjadi kenyataan. Tak kala menjabat Gubernur
Jawa Timur, justru ia tidak mau mengemukakan gagasan tersebut, karena khawatir
dinilai sectarian dan promodialisme yang hanya mementingkan
golongannya. Justru ketika sudah tidak menjadi gubernur, Mohammad Noer sangat
giat mencari dukungan untuk mewujudkan jembatan tersebut. (Muthmainnah,
1998:52)
Kegigihan Mohammad Noer tidak
sia-sia. Khayalannya tentang sebuah jembatan yang menghubungkan Surabaya - Madura segera
mendapatkan respons, baik dari kalangan swasta maupun pemerintah. Dari kalangan
swasta tampak dari pendirian PT Dhipa Madura Pradana (PT DMP) pada tanggal 3 Mei 1989. PT DMP ini yang kemudian melakukan
kegiatan awal seperti survey, penelitian, permohonan izin dan pendekatan ke
berbagai kalangan yang potensial untuk mewujudkan jembatan tersebut. Dalam PT
DMP, Mohammad Noer duduk sebagai presiden komisaris dan saham mayoritas dipegang
Summa Group sebelum kelompok ini collapse (Muthmainnah, 1998:52).
Pihak pemerintah dalam hal ini
Gubernur Jawa Timur dan Menteri Riset dan Teknologi RI/Ketua BPPT (Menristek),
segera menanggapinya secara positif rencana pembangunan jembatan Suramadu yang
diawali dengan pembangunan PT DMP. Dalam pandangan Gubernur Jaawa Timur,
pembangunan jembatan yang menghubungkan Surabaya - Madura bukan hanya
sebagai upaya mempercepat pembangunan Madura melalui industrialisasi, melainkan
juga menjadi alternatif perluasan industri di Surabaya.
Berkat tanggapan positif dari
pemerintah, gagasan pembangunan jembatan memasuki tahap lebih maju, yaitu
diangkat sebagai topik dalam Japan
Indonesia Science and Technology Forum (JIF), sebuah forum kerjasama
Jepang-Indonesia di bidang sains dan teknologi yang diketuai menristek
Prof.Dr.Bj. Habibie. Kesepakatan itu diwujudkan melalui penandatanganan Memorandum of Understanding on
Surabaya-Madura Bridge Contruction and Regional Development Project di
Tokyo pada tanggal 20 November 1990 antara PT DMP dengan koordinator
konsorsium Jepang yang disaksikan Menristek.
Dengan demikian sangatlah jelas bahwa konsep
yang disodorkan oleh pemerintah tidak memisahkan antara pembangunan jembatan
dan industrialisasi. Jembatan adalah bagian dari infrastruktur yang dibutuhkan
ketika industrialisasi di Madura. Peyatuan
konsep antara jembatan dan industrialisasi itu juga tampak dari konsep dasar
yang disusun dan ditetapkan PT DMP, BPPT, dan JIF. Pembangunan jembatan
Suramadu dimaksudkan untuk mengatasi hambatan kekurangan lahan di Surabaya
dengan memanfaatkan Pulau Madura sebagai lahan industri, pemukiman dan
komersial. Secara organisatoris, dengan mengacu Keppres 55/ 1990 dibentuklah
tim pengarah, tim pengawas, koordinator proyek dan pelaksana proyek serta
memberi petunjuk kepada tim
pengawas dan koordinator
proyek demi kelancaran pembangunan jembatan Suramadu. Tim itu diketuai Menristek
dan Menteri Dalam Negeri sebagai wakil ketua dengan beranggotakan sejumlah
menteri dan pejabat setingkat menteri. Tim pengarah bertanggung jawab langsung
kepada Presiden RI. Tim pengawas diketuai Gubernur Jawa Timur dengan anggota
instansi terkait. Tugas pokoknya adalah melaksanakan pengawasan terhadap
pelaksanaan pembangunan jembatan Suramadu (selanjutnya diatur dalam Keputusan
Gubernur Jawa Timur Nomor 39 tahun 1991). Tim pengawas bertanggung jawab kepada
tim pengarah. Selanjutnya koordinator
proyek melakukan koordinasi antarinstansi pemerintah dan swasta demi kelancaran
pelaksanaan pembangunan jembatan Suramadu. Kemudian pelaksana proyek
dipercayakan kepada PT DMP melalui Surat Keputusan Menristek / Ketua BPPT Nomor
283/BPPT/VI/1991 (Muthmainnah, 1998:67-68)
Dilihat dari berbagai segi, rencana
pembanguna jembatan Suramadu yang diperkirakan dimulai pada tahun 1995 dapat
dikatakan sangat siap. Bahkan PT DMP telah mengantongi sejumlah rekomendasi
pencadangan tanah dari Bupati Bangkalan, Walikota Kotamadya Surabaya dan
Gubernur Jawa Timur, terutama kebutuhan lahan untuk kepala jembatan, jalan
keluar, kawasan industri, pemukiman, dan rekreasi. Bahkan tidak hanya mengantongi
rekomendasi dari pemerintah untuk urusan lahan yang dibutuhkan saja, tapi PT DMD bahkan telah
memulai proses pembebasan tanah rakyat yang terkena proyek, terutama lahan
untuk kepala jembatan dan jalan keluar, sejak tahun 1994. Rencana pembangunan
yang satu peket dengan industrialisasi itu mengundang sikap resisten sebagian
ulama Madura. Pembangunan jembatan yang diperkirakan menelan sekitar 500 miliar
rupiah dan membutuhkan waktu 5 tahun itu akhirnya tertunda.
Baru satu dasawarsa kemudian rencana
untuk membangun jembatan Suramadu muncul kembali, tepatnya melalui proposal
Gubernur Jawa Timur Imam Utomo yang disampaikan kepada DPR pada tanggal 16
Februari 2001. Selanjutnya proyek tersebut ditangani oleh pemerintah pusat
melalui Departemen Pemukimam dan Prasarana wilayah. Direncanakan pembangunan
jembatan akan dimulai pada akhir September 2002. Biaya yang dibutuhkan mencapai
2,3 triliun rupiah. Seperti semula, di Surabaya pangkal jembatan terletak di
Desa Tambak Wedi, Kecamatan Kanjeran, sementara di bangkalan pangkal jembatan
terletak di Dususn Sekar Bungoh, Desa Sukolilo Barat, Kecamatan Labang.
Namum rencana pembangunan jembatan
Suramadu berbeda dengan rencana semula. Kalau dulu pembangunan jembatan menyatu
dengan rencana industrialisasi Madura, maka sekarang industrialisasi adalah
bagian lain dari rencana pembangunan jembatan. Fokusnya adalah pembangunan
jembatan sepanjang 5,4 km itu. Sekarang ini, menurut Gubernur Jawa Timur Imam Utomo, megaproyek
itu sepenuhnya ditangani oleh pemerintah pusat melalui Departemen Pemukiman dan
Prasarana wilayah (Kompas, Edisi Jawa Timur, 7 September 2002:A).
Begitu pula soal pembiayaan. Kalau
dulu ketika konsep pembangunan jembatan menyatu dengan rencana industrialisasi
Madura, sebagian biaya datang dari Jepang. Bahkan Jepang pula yang memiliki
kepentingan menyulap Madura sebagai kawasan industri. Namun pembiayaan rencana
pembangunan jembatan Suramadu sekarang tampak belum ada kejelasan. Pada
kesempatan tertentu Gubernur Jawa Timur, Imam Utomo menyampaikan bahwa dana
yang dibutuhkan akan diperolah
dari patungan antara PT Jasa Marga, sekitar 300 miliar rupiah, pemerintah pusat
sekitar 1 triliun rupiah, pemerintah daerah Jatim dan kabupaten sekitar 558
miliar rupiah, dan partisipasi
swasta sekitar 350 miliar rupiah. (Kompas, Edisi Jawa Timur 7 September 2002 : A). Lalu pada
kesempatan lain Gubernur Jawa Timur juga menyampaikan bahwa ada investor Cina
yang berpartisipasi. Namun dalam presentasi pembangunan Jembatan Suramadu di
Labang, Bangkalan, pada tanggal 9 Oktober 2002, yang juga dihadiri oleh Wakil
Presiden Hamzah Haz dan sejumlah pejabat, Hendriyanto, Direktur Jenderal
Prasarana Wilayah Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah, menyatakan bahwa
dari kebutuhan dana tersebut yang dipastikan bisa didapat yaitu berasal dari
APBN sebesar Rp 200 miliar, APBN sebesar 300 miliar, dan PT Jasa Marga sebesar
Rp 300Miliar. Kekurangannya mencapai Rp 1,5 triliun. Oleh karena itu Gubernur
Imam utomo pada kesempatan lain mengharapkan ada dana rutin dari APBN sebesar
Rp 400 miliar per tahun selama empat tahun sehingga kekurangan dana sebesar Rp
1,5 triliun dapat dipenuhi.
Dibandingkan rencana pembangunan
jembatan Suramadu sepuluh tahun lalu rencana sekarang ini tampak kalah siap.
Agus Budi Hariyanto, aktivis yayasan Pragalba, merasa tidak yakin bahwa
jembatan Suramaduakan terwujud sebagaimana mestinya.
Keraguan Agus tersebut tampak jelas
dilihat dari belum adanya kepastian biaya yang diperkirakan menelan Rp 2,3 triliun.
Oleh karena itu muncul kecurigaan bahwa ada tendensi politis di balik rencana
pembangunan jembatan Suramadu kali ini. Jembatan Suramadu diangkat kembali sebagai
komoditas politik, baik Presiden Megawati untuk menghadapi Pemilu 2004 maupun
Gubernur Imam Utomo menghadapi pencalonan Gubernur Jawa Timur periode
2003-2008. Imam utomo yang juga mantan Panglima Kodam V Brawijaya dicalonkan
kembali sebagai Gubernur Jawa Timur oleh PDIP yang memiliki 31 suara, PKB 32
suara, di DPRD Jawa Timur. Dengan demikian dengan menggandeng KH. Nurrudin
sebagai wakil gubernur dan
mengangkat isu jembatan Suramadu peluang untuk merebut dukungan dari kalangan
NU di Madura yang berbasis PKB. Hal ini diharapkan akan memperlancar Megawati
(PDIP) menghadapi pemilu 2004
di Jawa Timur, terutama di Madura yang dikenal basis NU.
0 komentar:
Posting Komentar